Sabtu, 06 Desember 2008

Setrum dari Tengah Laut

:: Dari Majalah Berita Mingguan TEMPO, 41/XXXVII 01 Desember 2008 ::


Gelombang laut bisa diubah menjadi energi listrik. Temuan inovatif ini tak mendapat dukungan. Beberapa waktu lalu, Presiden Yudhoyono mengundang penemunya, Zamrisyaf, ke Istana.


KAPAL Kuda Laut yang tengah mengarungi Selat Mentawai dihantam ombak besar. Kapal terguncang-guncang, penumpang panik. Bagi Zamrisyaf, salah satu penumpang kapal yang hendak ke Padang, peristiwa itu justru melahirkan ide brilian. Ia berpikir: bisakah gelombang sebesar itu menghasilkan energi listrik?



Ide tersebut lama mengendap di benaknya. Hingga suatu hari anggota staf perencanaan Perusahaan Listrik Negara Wilayah Sumatera Barat itu ditugasi ke Jakarta. Dalam perjalanan, lagi-lagi kapal laut yang ditumpanginya dihantam badai besar. Keesokan paginya, seorang kawan bercerita bahwa badai besar membuat lonceng di depan kapal tak henti berdentang. Ide lama yang mengendap pun terkuak. Zamrisyaf terinspirasi goyangan bandul lonceng kapal.

”Bandul bergerak karena besarnya gelombang laut,” kata Zamrisyaf. Ia lantas mewujudkan khayalannya dalam sebuah konsep. Ia memberi rancangannya nama: Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut Sistem Bandulan. Karyanya ini diakui sebagai sebuah inovasi baru dan telah dipatenkan pada 2002. Dalam daftar 100 Inovasi Indonesia 2008 yang dilansir Kementerian Riset dan Teknologi, namanya tertera di sana. Dua bulan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang dia ke Istana karena temuannya itu.

Pembangkit Sistem Bandulan, yang rancang bangunnya berbentuk ponton, ditempatkan mengapung di atas permukaan air laut. Pembangkit ini mengikuti gerak atau arus gelombang sesuai dengan frekuensi gelombang laut. Gerakan bandul yang terus-menerus menyebabkan pembangkit mampu mengeluarkan energi atau daya listrik.

Menurut Electric Power Research Institute, organisasi nonprofit yang mengkhususkan diri pada penelitian dan pengembangan tenaga listrik, daerah pesisir pantai selatan Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara memiliki potensi energi gelombang laut cukup besar. Sejauh ini, kawasan tersebut tercatat memiliki potensi energi 10-20 kilowatt per meter gelombang. Bahkan pernah tercatat di beberapa tempat mencapai 70 kilowatt per meter.

Dalam perhitungan Zamrisyaf, untuk area lautan dengan luas kurang-lebih satu kilometer persegi, energi gelombang laut dapat menghasilkan daya listrik sekitar 20 megawatt dengan biaya investasi Rp 20 juta per kilowatt atau total Rp 400 miliar. Jumlah tersebut sama dengan kekurangan daya listrik di Sumatera Barat saat ini.

Nilai investasi pembangkit ini hampir sama dengan membangun sebuah pembangkit listrik tenaga air atau uap. ”Bahkan lebih mahal dibanding diesel. Tapi, setelah beroperasi, akan jauh lebih murah karena tenaga yang digunakan gratis,” ucap Zamrisyaf.

Pembangkit sengaja didesain berbentuk ponton untuk menahan derasnya gelombang laut. Di dalam ponton tersebut terdapat sejumlah peralatan utama, seperti bandul, pemindah gerak bandul menjadi gerak putar, transmisi putaran, roda gila (flywheel), dan dinamo.

Bandul dalam pembangkit ini mengubah energi potensial berupa gelombang laut menjadi energi kinetik. Bandul yang dipasang sedemikian rupa di dalam ponton akan bergerak (bergoyang) jika ponton bergerak sesuai dengan alur gelombang.

Untuk mendapatkan daya atau energi listrik, diperlukan gerak rotasi. Gunanya memutar dinamo. Dengan jumlah putaran per menit tertentu, gerak rotasi dapat menghasilkan energi listrik dari dinamo. Dengan pembangkit ini, Zamrisyaf yakin bisa membantu pemerintah mengatasi krisis energi. Selain praktis, ramah lingkungan, dan efisien, pembangkit gelombang laut sangat cocok untuk wilayah kepulauan seperti Indonesia.

Sebelum temuannya diakui sebagai inovasi baru tahun ini, Zamrisyaf sudah enam kali melakukan uji coba sejak 2002. Saat itu alat yang digunakan masih sederhana. Ia merangkai enam drum menjadi ponton sebagai alas. Alat ini dilengkapi bandul dan pelat becak, tapi belum dipasangi dinamo. Sayang, hasilnya kurang memuaskan. Salah satu lengan bandul rusak.

Tak patah arang, setahun kemudian Zamrisyaf memperbaiki temuannya. Kali ini peralatan yang digunakan bergerak dengan bagus. Roda gila, bandul, dan pelat becak berputar. Agar temuannya lebih sempurna, ia tiga kali mengulang eksperimen tersebut. Ia menghabiskan dana hingga Rp 40 juta. ”Dari uang pribadi karena tak ada yang mau mendanai kalau belum melihat hasilnya,” ujar Zamrisyaf.

Beruntung, tahun lalu PLN Wilayah Sumatera Barat, tempat ia bekerja, mau membantu. Kali ini uji coba dilakukan di Pantai Ulak Karang, Padang. Dalam percobaan ini, dinamo sudah terpasang sehingga mulai menghasilkan listrik. ”Lampunya bisa nyala dan berkedip. Kadang terang, kadang redup. Itu menandakan energi gelombang ini sudah bisa menghasilkan listrik,” ucap Zamrisyaf bangga.

Namun bantuan PLN tak berlanjut. Menurut General Manager PT PLN Wilayah Sumatera Barat Hudiono, instansinya saat ini tak memiliki pos pengeluaran untuk mendanai temuan itu. PLN hanya berfokus melayani pelanggan dengan baik. ”Kalau listrik tidak menyala karena uangnya kita pakai untuk penelitian, bagaimana?” ucap Hudiono.

Meski begitu, Hudiono mengaku sudah berusaha membantu dengan menyampaikan masalah tersebut ke PLN pusat. ”Kata pusat, oke, kita upayakan untuk mencari anggaran. Tapi PLN itu menerima uang dari pelanggan yang jumlahnya lebih kecil daripada biaya yang diperlukan untuk memproduksi listrik,” katanya.

Untuk skala lebih besar, Zamrisyaf membayangkan dalam satu ponton akan ada empat sampai enam bandul. Namun semua itu tergantung berapa panjang gelombang laut yang ada dan berapa tinggi gelombang tersebut. Daya listrik yang bisa dihasilkan berkisar 100-300 kilowatt untuk satu ponton.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi juga telah mengembangkan pembangkit ini di Pantai Parangracuk, Baron, Yogyakarta. Melalui alat tersebut, didapat daya listrik 522 kilowatt. Sebelumnya, di Pantai Tanjung Karang, Mataram, mahasiswa lulusan universitas di Makassar dan Malang berhasil membuat pembangkit yang sama. Di Surabaya, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember sukses meningkatkan daya listrik hingga 90 persen dengan memanfaatkan energi gelombang laut. Namun cara kerja pembangkit yang digunakan berbeda satu dengan yang lain.

Di luar negeri, pemanfaatan gelombang laut sebagai pembangkit tenaga listrik sudah mencapai tahap komersialisasi. Australia, Skotlandia, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Belanda merupakan contoh negara yang serius mengembangkan teknologi konversi gelombang laut ini. Bedanya, di sana, kebanyakan pembangkit listrik ditanamkan di dalam laut. Pembangkit temuan Zamrisyaf berada di atas permukaan laut sehingga tak ada peralatan yang bersentuhan dengan air laut secara langsung, kecuali ponton. Dengan begitu, alat ini mudah dipindahtempatkan.

Meski begitu, karya Zamrisyaf bukan tanpa cacat. Peralatan yang digunakan mudah mengalami korosi air laut. Pembangkit yang tahun lalu dipasang di Pantai Ulak Karang terpaksa dibongkar enam bulan kemudian karena faktor korosi.

Panjang pantai Indonesia kurang-lebih 81 juta kilometer. Bila 10 persen saja pesisir pantai dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik, akan dihasilkan kurang-lebih 16 gigawatt (bila dihitung 20 kilowatt per meter gelombang). Sumatera Barat memiliki panjang pantai 375 kilometer. Jika 10 persen dimanfaatkan untuk energi gelombang laut, itu berarti dapat menghasilkan listrik setara dengan 750 megawatt. ”Kalau digunakan, tak akan ada pemadaman bergilir lagi,” ujar Zamrisyaf.

Firman Atmakusuma, Febrianti (Padang)


sumber : http://majalah.tempointeraktif.com

2 komentar:

Atsuko Maeda mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Atsuko Maeda mengatakan...

inilah manusia cerdas dalam arti sebenarnya. ide sederhana tapi akurat.
Bunga